Senin, 22 April 2013

GURU JUGA BISA STRES


Guru merupakan bagian penting di dalam dunia Pendidikan, sehingga keadaan yang dialami oleh guru dapat berdampak didalam proses kegiatan belajar mengajar di sekolah.  Sehingga dampak yang ditimbulkan dapat berpengaruh pada perilaku di dalam mengajar. Guru sebagai sebuah profesi harus mampu memenuhi tuntutan hidup yang demikian besar, di sisi lain tanggung jawab dan beban moral yang dipikul sebagai seorang pengajar dan pendidik sangat besar sering mengakibatkan stres/ tekanan mental pada guru. Belum lagi jika ia menjadi sasaran kritik atas gagalnya suatu proses pendidikan yang dialami oleh anak didiknya. Tak jarang guru akhirnya mengambil sikap apatis di tengah dilema tanggung jawab serta tuntutan sosial ekonomi. 

Stres merupakan suatu gejala yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang, baik dalam hal bekerja atau hal yang dilakukannya. Stres merupakan gejala normal yang dialami oleh setiap orang, sehingga setiap orang pastilah pernah mengalami stres. Stres timbul akibat dari kegagalan yang dialami oleh seseorang, tuntutan dari lingkungan sekitar, kewajiban besar yang ditanggung oleh seseorang dan sebagainya. Stres dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif terhadap individu. Pengaruh positif yaitu mendorong individu untuk melakukan sesuatu, membangkitkan kesadaran dan menghasilkan pengalaman baru.  Sedangkan pengaruh negatif yaitu menimbulkan perasaan-perasaan tidak percaya diri, penolakan, marah atau depresi; dan memicu berjangkitnya penyakit sakit kepala, sakit perut, insomnia, tekanan darah tinggi atau stroke.
Sementara A. Baum (Shelley E. Taylor, 2003) mengartikan stres sebagai “Pengalaman emosional yang negatif yang disertai perubahan-perubahan biokimia, fisik, kognitif dan tingkah laku yang diarahkan untuk mengubah peristiwa stres tersebut atau mengakomodasi dampak-dampaknya”.  
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa stres adalah perasaan tidak enak, tidak nyaman atau tertekan, baik fisik maupun psikis sebagai respon atau reaksi individu terhadap stressor (stimulus yang berupa peristiwa, objek atau orang) yang mengancam, mengganggu, membebani atau membahayakan keselamatan, kepentingan, keinginan atau kesejahteraan hidupnya.

Sumber Stres Guru (Berasal dari Faktor Guru)
Sumber stres guru yang berasal dari faktor guru sebagai individu, dapat digolongkan atas dua faktor yaitu faktor demografik dan faktor kepribadian (Caputo, 1991; Maslach, 1982; Farber, 1991).

Faktor Demografik:  
Farber (1991) dalam penelitiannya tentang kondisi stres di kalangan guru-guru di Amerika menemukan bahwa pria lebih rentan terhadap stres jika dibandingkan dengan wanita. Pria tumbuh dan dibesarkan dengan nilai kemandirian khas pria, dan mereka diharapkan dapat bersikap tegas, lugas, tegar dan tidak emosional. Sebaliknya, wanita diharapkan untuk mempunyai sikap membimbing, empati, kasih sayang, membantu dan lembut hati. Perbedaan cara dalam membesarkan pria dan wanita memberi dampak berbeda pula pada pria dan wanita dalam menghadapi dan mengatasi stres.  Seorang pria yang tidak dibiasakan untuk terlibat mendalam secara emosional dengan orang lain akan rentan terhadap berkembangnya depersonalisasi. Wanita yang lebih banyak terlibat secara emosional dengan orang lain akan cenderung rentan terhadap kelelahan emosional. Status perkawinan juga berpengaruh terhadap timbulnya stres, profesional yang berstatus lajang lebih banyak mengalami stres dari pada yang telah menikah (Farber, 1991; Maslach, 1982). Jika dibandingkan antara seseorang yang memiliki anak dan yang tidak memiliki anak, maka seseorang yang memiliki anak cenderung mengalami tingkat stres yang lebih rendah. Alasannya adalah: seseorang yang telah berkeluarga pada umumnya cenderung berusia lebih tua, stabil, dan matang secara psikologis; keterlibatan dengan keluarga dan anak dapat mempersiapkan mental seseorang dalam menghadapi masalah pribadi dan konflik emosional, kasih sayang dan dukungan sosial dari keluarga dapat membantu seseorang dalam mengatasi tuntutan emosional dalam pekerjaan, dan seseorang yang telah berkeluarga memiliki pandangan yang lebih realistis (Maslach, 1982). 

Temuan lain adalah bahwa profesional yang berlatar belakang pendidikan tinggi cenderung rentan terhadap stres jika dibandingkan dengan mereka yang tidak berpendidikan tinggi (Maslach, 1982). Profesional yang berpendidikan tinggi memiliki harapan atau aspirasi yang idealis sehingga ketika dihadapkan pada realitas bahwa terdapat kesenjangan antara aspirasi dan kenyataan, maka munculah kegelisahan dan kekecewaan yang dapat menimbulkan stres. Sebaliknya, bagi profesional yang berpendidikan sedang saja, cenderung kurang memiliki harapan yang tinggi sehingga tidak menjumpai banyak kesenjangan antara harapan dan kenyataan. 
Caputo (1991) mengemukakan terdapat hubungan antara status profesional dengan stres. Profesional yang bekerja secara penuh waktu lebih berisiko terhadap stres jika dibandingkan dengan profesional yang bekerja paruh waktu.  

Faktor Kepribadian: 
Salah satu karakteristik kepribadian yang rentan terhadap stres adalah individu yang idealis dan antusias. Individu-individu ini, karena memiliki komitmen yang berlebihan dan melibatkan diri secara mendalam di pekerjaan akan merasa sangat kecewa ketika imbalan dari usahanya tidaklah seimbang. Mereka akan merasa gagal dan berdampak pada menurunnya penilaian terhadap kompetensi diri. Maslach (1982) mengatakan bahwa individu yang memiliki konsep rendah diri rentan terhadap stres. Mereka pada umumnya dilingkupi oleh rasa takut sehingga menimbulkan sikap pasrah. 
Karakteristik kepribadian berikutnya adalah perfeksionis yaitu individu yang selalu berusaha melakukan pekerjaan sesempurna mungkin sehingga akan sangat mudah merasa frustrasi bila kebutuhan untuk tampil sempurna tidak tercapai. Karenanya, menurut Caputo (1991) individu yang perfeksionis rentan terhadap stres. 
Kemampuan yang rendah dalam mengendalikan emosi juga merupakan salah satu karakteristik kepribadian yang dapat menimbulkan stres. Maslach (1982) menyatakan bahwa seseorang ketika melayani klien pada umumnya mengalami emosi negatif, misalnya marah, jengkel, takut, cemas, khawatir dan sebagainya. Bila emosi-emosi tersebut tidak dapat dikuasai, mereka akan bersikap impulsif, menggunakan mekanisme pertahanan diri (self-defence mechanism) secara berlebihan atau menjadi terlarut dalam permasalahan klien. Kondisi tersebut akan menimbulkan kelelahan emosional yang memicu stres.
Contoh faktor penyebab stres guru dilapangan misalnya: iklim atau suasana kerja yang kurang nyaman atau kurang harmonis, mempunyai masalah di lingkungan keluarga sendiri yang sulit untuk dipecahkan (istri/ suami banyak menuntut, biaya pendidikan dan kesehatan anak yang melampaui kemampuannya), kurang lancarnya atau sering terhambatnya jenjang karier (kenaikan pangkat atau golongan).

Sumber Stres Guru (Berasal dari Faktor Peserta Didik)
Selain stres yang berasal dari diri guru sebagai individu, guru juga mengalami stres yang di akibatkan oleh faktor peserta didik. Sumber stres guru yang berasal dari peserta didik misalnya:   

Aspek Kognitif Peserta Didik
Perkembangan kognitif remaja menurut Jean Piaget, merupakan  periode terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasional formal. Pada periode ini idealnya remaja sudah mampu mencapai tahap pemikiran abstrak dan sudah mampu terbiasa berpikir kritis dan mampu menganalisis masalah dan mencari solusi terbaik. Budiutomo dan Bracht menyatakan bahwa belum tercapainya perkembangan kognitif tersebut dapat memunculkan pemikiran-pemikiran yang negatif seperti: kebiasaan menunda, kelemahan dalam pengambilan keputusan, kecenderungan lupa atau lemahnya daya  ingat, kesulitan untuk berkonsentrasi, kehilangan harapan, berfikir negatif, berputus asa, menyalahkan diri sendiri dan kebingungan. Akibatnya guru mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran yang bisa berakibat stres.

Perkembangan Emosi Peserta Didik Remaja
Masa remaja atau masa adolensia merupakan masa peralihan atau masa transisi antara masa anak ke masa dewasa. Pada masa ini individu mengalami perkembangan yang pesat mencapai kematangan fisik, sosial, dan emosi. Pada masa ini dipercaya merupakan masa yang sulit, baik bagi remaja sendiri maupun bagi keluarga dan lingkungannya. Perubahan-perubahan fisik yang dialami remaja juga menyebabkan adanya perubahan psikologis. Hurlock (1973:17) disebut sebagai periode heightened emotionality yaitu suatu keadaan dimana kondisi emosi tampak lebih tinggi atau tampak lebih intens dibandingkan dengan keadaan normal. Emosi yang tinggi dapat termanifestasikan dalam berbagai bentuk tingkah laku seperti bingung, emosi berkobar-kobar atau mudah meledak, bertengkar, tak bergairah, pemalas, membentuk mekanisme pertahanan diri. Emosi yang tinggi ini tidak berlangsung terus-menerus selama masa remaja. Dengan bertambahnya umur maka emosi yang tinggi akan mulai mereda atau menuju kondisi yang stabil. Guru sebagai pendidik yang tidak mampu memahami dan mengelola perkembangan emosi peserta didik akan menimbulkan stres dalam mengatasinya.

Perbedaan Peserta Didik Dalam Perkembangan/ Kemampuan Intelektual
Individu membawa gen-gen yang diwarisi dari ayah ibunya. Dengan demikian mereka telah membawa kemungkinan-kemungkinan tertentu dalam perkembangan intelektual mereka.  hal ini berarti bahwa individu telah memiliki potensial untuk memiliki kemampuan pada tingkat normal, di atas normal atau di bawah normal. Namun sejauh mana potensial tersebut berkembang akan bergantung juga pada lingkungan.  hereditas dan lingkungan saling berinteraksi dalam mempengaruhi performansi. dengan demikian perbedaan individu akan terjadi karena adanya variasi dari faktor hereditas dan variasi dari lingkungan.  Adanya perbedaan individu tersebut juga dapat dilihat dalam kemampuan menyerap pelajaran dan kecepatan belajar.  ada siswa yang mudah menyerap pelajaran, ada yang sulit, ada yang cepat dalam memnyerap pelajaran ada yang membutuhkan waktu yang lama. perbedaan individual ini mungkin juga akan nampak dalam sikap dalam belajar, keterampilan belajar, proses belajar, dan dalam hasil belajar yang di capai.  

Kesimpulan
Guru merupakan komponen yang berpengaruh dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah, oleh karena itu di harapkan gurup dapat bertanggung jawab dalam rangka peningkatan mengajar guru untuk mencapai daya serap yang tinggi atau meningkatkan hasil belajar siswa. Guru pada guru adalah berdasarkan pengalaman, stres pada guru dapat mempunyai efek yang merugikan pada diri guru, siswa dan lingkungan kerjanya. Stres tersebut dapat berbentuk kelelahan fisik, emosi, sikap yang negatif terhadap siswa dan keinginan untuk mengurangi tugas-tugas personal. Stress kerja adalah sebagai reaksi-reaksi emosional dan psikologis yang terjadi pada situasi dimana tujuan individu mendapat halangan dan tidak bisa mengatasinya. Motivasi kerja didefinisikan sebagai kondisi yang berpengaruh mebangkitkan, mengarahkan dan memelihara perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja. 

0 komentar:

Posting Komentar